Swasembada Garam Tahun 2015 Sulit Tercapai
Program pemerintah untuk swasembada garam 2015 tampaknya sulit tercapai, mengingat hingga tahun 2014 ini saja, Indonesia masih mengimpor 50% kebutuhan garam nasional. Swasembada itu meliputi garam konsumsi dan garam industri.
Demikian ditegaskan Anggota Komisi IV DPR RI Siswono Yudohusodo, Senin (24/3). Politisi Golkar itu menjelaskan, untuk memenuhi produksi garam industri, Indonesia belum bisa memenuhinya, karena kadar NaCl-nya harus 97%. Nah, di Indonesia rata-rata di bawah 90%. Padahal, Indonesia memiliki 9 provinsi yang dijadikan sentra produksi garam. Tapi, tetap saja belum mampu memenuhi kualitas nomor 1 untuk industri. Ini tentu sangat ironis.
Sembilan provinsi itu adalah Aceh, Jabar, Jatim, Bali, NTT, NTB, Sulteng, dan Sulsel. Bila hanya swasembada untuk garam konsumsi, itu sudah tercapai. Siswono lalu membandingkannya dengan Australia yang hanya punya satu wilayah sentra produksi garam. Tapi, kapasitas produksinya bisa mencapai 10 juta ton dengan kadar NaCl yang tinggi pula.
Pemerintah Australia telah menetapkan wilayah yang ideal untuk produksi garamnya, yaitu wilayah yang curah hujannya tidak ada, pantainya landai, dan tidak ada sungainya. “Jadi menurut saya, kita harus mencari wilayah-wilayah seperti di Australia itu untuk meningkatkan produksi garam. Jangan membiarkan petani bekerja dengan efisiensi yang rendah dan terletak di daerah yang curah hujannya tinggi,” terang Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR ini.
Di Indonesia, sambung Siswono, wilayah ideal untuk produksi garam adalah Madura (Jatim) dan NTT. Hanya saja akses teknologinya yang belum memadai. Sementara PT. Garam (dahulu PN. Garam) sejak dahulu tidak melakukan modernisasi produksi garam. Padahal, dahulu sempat diberi monopoli perdagangan garam dalam jangka waktu lama. PT. Garam sebagai satu-satunya BUMN yang memproduksi garam malah tidak melakukan tugasnya dengan baik.
“Harusnya PT. Garam mengembangkan kebutuhan garam yang tidak bisa diproduksi rakyat, yaitu garam industri. Ironisnya, impor garam kita mencapai Rp900 miliar lebih. Hampir satu triliun rupiah,” papar Siswono.
Sebetulnya, sempat ada program pemerintah untuk produksi garam ini, yaitu PUGAR (Pemeberdayaan Usaha Garam Rakyat). Hasilnya, pada 2012 sempat menghasilkan 2 juta ton garam. “Itu suatu prestasi yang baik. Tapi sekali lagi skala usahanya kecil-kecil. Petani garam itu bukan pengusaha yang sukses secara materil, karena hasilnya terbatas. Skalanya mesti diperbesar,” harap Siswono. (mh)/foto:iwan armanias/parle.